Adat Dalihan Natolu ( Adat Budaya Angkola )

Artikel oleh Rony Saputra Siregar

DALIHAN NATOLU

banner 336x280

Budaya Angkola telah banyak implikasinya terhadap watak atau prilaku orang-orang Batak di antara budaya tersebut seperti Dalihan Na Tolu, yang merupakan satu kelompok orang yang terdiri dari mora, kahanggi, dan anak boru. Dalihan NaTolu ini adalah sutau organisasi yang mempunyai tujuan yang sama dan pembagian tugas dan tanggung jawab yang berbeda dalam suatu upacara adat bagian Tapanuli Selatan. Berkenaan Dalihan Na Tolu adalah merupakan suatu budaya yang dalam arti hasil karya cipta manusia.

Secara harpiah dalihan na tolu berarti tungku nan tiga,yakni tiga buah batu yang dipakai sebagai landasan atau tumpukan periuk untuk memasak. Sedangkan secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen (unsurnya) terdiri dari tiga.

Di dalam paradaton, hubungan antara satu sama lain didasarkan kepada lembaga adat dalihan na tolu. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Mandailing yang sifatnya patrilineal (menurut garis keturunan bapak). Dalihan na tolu pada masyarakat Angkola mengandung arti tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan. Dalam upacara adat, lembaga dalihan na tolu ini memegang peranan yang penting dalam menetapkan keputusan- keputusan.

Dalihan na tolu terdiri dari tiga unsur tersebut terdiri dari kelompok: Suhut dan kahangginya,. Ketiga unsur ini mempunyai fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan kedudukan dan fungsi ini ditentukan oleh kedudukannya apakah pada saat itu yang bersangkutan berkedudukan sebagai kahanggi, anak boru dan mora. Jika pada suatu saat lain dapat berubah-ubah sesuai dengan situasi, kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki tiga dimensi dalam kedudukannya sebagai unsur dalihan na tolu ataupun sebagai anggota masyarakat.

Sistem sosial yang dinamakan dalihan na tolu ini mempunyai fungsi sebagai mekanisme untuk melaksanakan adat dalam kehidupan adat Angkola. Perwujudan pelaksanaan adat yang menggunakan sistem sosial dalihan na tolu sebagai mekanismenya dapat dlihat pada waktu penyelenggaraan upacara adat. Dalam masyarakat Angkola suatu upacara adat hanya dilaksanakan jika didukung bersama mora, kahanggi dananak boru yang berfungsi sebagai tumpuan atau komponen sistem dalihan na tolu. Dasar adat dalihan na tolu sebagai pranata hidup masyarakat Angkola ialah holong (cinta dan kasih sayang) dan domu (keakraban). Holong (kasih sayang) antara sesama manusia melahirkan domu (keakrapan) antara satu sama lain. Adanya domu anatara manusia membuktikan bahwa mereka hidup dengan holong.

Untuk membuat holong (cinta dan kasih sayang) dandomu (keakraban) menjelma atau terwujud dalam kehidupan masyarakat Angkola, diciptakan adat yang dilandasi oleh patik (ketentuan-ketentuan dasar atau komandemen). Adat diisi dengan uhum (kaidah-kaidah dan hukum). Dan dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat harus dijalankan menurut ugarai (tata pelaksanaan adat) dengan  menggunakan satu sistem sosial yang dinamakan Dalihan NaTolu (tumpuan yang tiga)

Unsur-unsur Dalihan Na Tolu

  1. Mora

Mora adalah tingkat keluarga yang oleh suhut mengambil boru (istri) dari kelompok ini. Mora terdiri atas tiga kelompok, yaitu 1) Mora mata ni ari, adalah kelompok keluarga yang secara turun temurun menjadi mora, karena kelompok suhut sejak pertama kalinya telah mengambil boru dari kelimpok ini. Dalam upacara adat, mora mata ni ari dapat hadir sebagai harajaon, 2) Mora ulu bondar (pangalapan boru), adalah mora tempat kelompok suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang pernah memberi boru kepada suhut.Oleh karana itu secara turun-temurun kelompok suhut dapat mengambil boru dari kelompok mora ini, 3) Mora pambuatan boru, yaitu kelompok keluarga tempat suhut mengambil istri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru pertama kalinya memberikan boru kepada suhut. Suhut yang mengambil boru secara langsung ini menganggap keluarga mora ini sebagaimora pambuatan boru.

Apabila dalihan na tolu ini dikembangkan, mora tentu mempunyai mora, maka jika dipandang dari sudut suhut, maka kedudukannya adalah mora ni mora. Demikian juga dengan anak boru, tentu mempunyai anak boru dan jika dipandang darisudut suhut, kedudukannya disebut pisang raut.

  1. Suhut dan Hombar Suhut, Kahanggi

Yang dimaksud dengan suhut dan kahanggi adalah suatu kelompok keluarga yang semarga atau mempunyai garis keturunan yang sama satu huta yang merupakan bona bulu (pendiri kampung). Suhut berkedudukan sebagai tuan rumah dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Suhut adalah mereka yang merupakan tuan rumah di dalam pelaksanaan upacara adat(yang punya hajatan). Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.

Hombar suhut adalah keluarga dan kahanggi semarga dengan suhut tetapi tidak satu nenek. Hombar suhut ini tidak hanya yang berasal dari huta yang sama, tetapi dari luar hutayang masih mempunyai hubungan keluarga dan semarga dengan suhut.

Kahanggi pareban adalah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga sama-sama mengambil istri dari keluarga yang sama. Dalam status adat kahanggi pareban ini dianggap sebagai saudara markahanggi berdasarkan perkawinan.

  1. Anak Boru

Anak boru adalah kelompok keluarga yang dapat atau yang mengambil istri dari kelompok suhut. Sukses atau tidaknya suatu acara yang diselenggarakan suhut itu tergantung anak borunya. Anak boru dibagi atas: 1) Anak boru bona bulu, yaitu anak boru yang telah memiliki kedudukan sebagai anak boru sejak pertama kalinya suhut menempati huta. Anak boru inilah yang pertama mengambil boru dari keluarga kelompok suhut, 2) Anak boru busir ni pisang, yaitu anak boru yang karena orang tuanya mengambil istri dari kelompok suhut. Oleh sebab itu anak-anaknya akan tampil sebagai anak boru busir ni pisang, 3) Anak boru sibuat boru, yaitu anak boru yang mengambil istri dari suhut, dengan demikian ia berkedudukan sebagai boru (sibuat boru)

 

  1. Mekanisme Kerja Dalihan Na Tolu

Lembaga dalihan na tolu sangat berperan dalam upacara adat. Kedudukan suhut/kahanggi, mora dan anak boru yang dalam situasi dan kondisi yang berbeda akan memberikan kedudukan yang berbeda, akan saling menghormati, saling menerima dan selain mendengar satu sama lain. Hubungan ketiga unsur dalihan na tolu satu sama lain sudah diatur didalam hukum adat. Bagi lembaga dalihan na tolu tanggung jawab untuk mensukseskan suatu pekerjaan adalah merupak hak dan kewajiban. Di dalam pelaksanaan upacar-upacara adat ketiga unsur dalihan na tolu harus tetap mardomu ni tahi (selalu mengadakan musyawarah mufakat). Musyawarah untuk mufakat akan tercapai jika ada unsur rasa kesatuan, rasa tanggung jawabdan rasa saling memiliki terpelihara. Berhasilnya suatu pekerjaan ditentukan oleh adanya rasa persatuan dan kesatuan,adanya rasa memiliki.

Mekanisme kerja dalihan natolu ini semuanya sama penting dalam suatu acara dalam daerah Angkola. Jika salah satu dari ketiganya tidak ada atau tidak ikut, maka acara tersebut tidak bisa berlanjut.

Ketiga faktor ini harus saling mendukung. Jika salah satu faktor ini tidak berfungsi, maka segala pekerjaan tidak akan berhasil dengan baik. Dan nilai-nilai tiga unsur inilah yang diterapkan dalam lembaga dalihan na tolu. Sehingga masyarakat dalihan na tolu nampak begitu kompak dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.

Di dalam upacara-upacara adat, kedudukan unsur dalihan na tolu ini (mora, kahanggi, anak boru), mempunyai kedudukan yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi, situasidan tempat. Bagaimana fungsi dan kedudukannya di dalam upacara-upacara adat semuanya telah diatur dalam adat sebagai berikut:

  1. Hubungan antara suhut dan kahanggi

Sebagaimana telah disebutkan di atas, suhut dan kahangginya adalah kelompok tuan rumah di dalam pelaksanaan upacara adat (yang punya hajatan). Kelompok inilah yang merupakan penanggung jawab terhadap segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelakasanaan upacara adat tersebut.

Suhut dan kahangginya harus melaksanakan tuganya dengan pnuh tanggung jawab, mereka harus seia sekata, seiring sejalan, senasip sepenanggungan. Berat sama dipikul ringan sama dijingjing. Suhut dan kahanggi tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

  1. Hubungan antara suhut dan kahangginya terhadap anak boru.

Hubungan suhut dan kahanggi nya bersifat satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, maka hubungan suhut dan kahanggi dengan anak boru lebih mengutamakan saling tolong-menolong, meskippun sifat atau satu kesatuan tersebut tetap harus ada.Anak boru sebagai tempat pangidoan (meminta tenaga), baik tenaga fisik, pikiran, maupun material.

Sulu di nagolap

Tungku di nalandit

Sihorus nalobi

Sitamba nahurang

Yang artinya anak boru sebagai pemberi semangat kepada suhut (sebagai mora). Jika terjadi kesulitan, melengkapi kekurangannya, namun jika ada kelebihan moranya, anak borunya berhak pula memperoleh kelebihan tersebut.

  1. Hubungan suhut dan kahanggi-nya terhadap mora

Secara fungsional, mora berkedudukan sebagai pangidoan tua dohot haratan. Mora berkedudukan sebagai yang dihormati. Marwah ada pada mora. Mora dianggap sebagai sumber berkat tuah dan pasu-pasu. Oleh sebab itu di dalam etikasopan santun ketiga unsur ini satu sama lain harus bersikap:

Rosu markahanggi

Laok maranak boru

Sangap marmora

Antara suhut dan kahanggi -nya terhadap anak boru,maupun terhadap mora harus bersikap sesuai dengan keduduknnya. Antara suhut dan kahanggi-nya harus bijaksana,terhadap anak borunya harus pandai mengambil hatinya, terhadap mora harus hormat. Walaupun ketiga-tiganya berbeda-beda namun satu sama lainnya tidak ada yang lebih rendah.Mereka harus saling menghormati, saling menghargai kedudukan masing-masing sesuai dengan situasi, komdisi dan kedudukannya yang dapat berganti.

 Fungsi dalam Masayarakat Adat

  1. Mora: Pangidoan tua, pangidoan tutur dohot poda. Mata niari so gak-gahon liung so tungkiron. Derajat tinggi,merupakan mata hari yang tak dapat ditentang. Dan bagaikan jurang yang tak dapat ditukik. Artinya mora, harus betul-betul dihormati atau disebut: Hormat Tu Mora, karena mora inilah tempat kita minta tutur, minta bimbingan, minta petuah, minta nasihat dan lain-lain, yang baik dan berguna bagi kita. Oleh karena itu mora harus dimuliakan, di jung-jung tinggi, dan disegani. Dalam upacara Adat, dapatdisebuutkan untuk memperkuat maksud dan tujuan anak boru supaya tercapai dan terlaksana dengan baik dan sempurna.Maka dalam istilah Adat disebut: panamburi atau pandondoni. Ada 2 (dua) bentuk tingkatan mora dalam persidangan upacara Adat: 1) Mora Parutangan Boli, Pihak mora ini dan mereka satu nenek (saparompuan) atau satu hariman, tidak wajar hadir pada upacara persidangan anak boru, a) sidangmarpege-pege, b) sidang mangupa di na haroan boru. Bila kebetulan, terjadi upacara sidang Adat, yang menyangkut tahi marpege-pege atau mengupa boru, sedang dia adalah sebagai raja atau hatobangon, atau sebagai pejabat fungsional adat lainnya. Maka wajar sekali, sebagai gantinya disuruhnya kahangginya yang lebih jauh hubungan darahnya dengan putrinya yang kawin didesa itu. di dalam hal ini, yang paling penting adalah jabatan pimpinan sebagai raja dalam persidangan. Karena marga yang lain tidak boleh menggantikan kedudukan raja, menurut yang sewajarnya, 2)Mora Dongan Satahi: Mora ini, ada juga yang menyebut mora ama. Tutur mora timbul, bukan karena hubungan perkawinan yang sangat dekat. Cuma menurut jalur hubungan keluarga dari berbagai pihak dalam hubungan kekeluargaan dan masyarakat kita harus memanggil mora. Kalau ini boleh hadir, baik dalam upacara marpege-pege,mangupa di na haroan boru dan lain-lain. Apalagi kadang-kadang dalam desa itu, mora kita itu mempunyai jabatan sebagai raja, atau hatobangon, yang mau tidak mau harusselalu hadir dalam persidangan Adat. Justru itu, walaupun ia sebenarnya sebagai mora dalam tahi atau musyawarah adatini, ia merupakan pathner (dongan) untuk menyelesaikan segala urusan Adat. Karena dalam persidangan upacara kemungkinan kalau dia tidak hadir persidangan adat, menjadi janggal atau terhalang.
  2. Mora Ni Mora: adalah anggota hubungan keluar/masyarakat,yang tidak pula terhalang hadir dalam sidang dan upaca Adat,itulah maka disebut “hula dongan”.
  3. Kahanggi: Kahanggi adalah satu-satunya yang betanggung jawab, baik dari segi moral dan material, dalam upacaraAdat. Sedang kahanggi hombar suhut, hanya sebagai pembantu seadanya saja.
  4. Anak Boru: Anak boru adalah pembantu yang kuat, yang tidak pernah mengenal lelah, dan tidak pula mengenal rugi,dalam horja Adat yang diadakan di rumah mora. Anak boru mengerahkan segala pikiran dan tenaga, baik bagian maupun datang untuk membantu mora agar horja berjalan dengan lancar dan berhasil baik. Sehingga anak boru ini disebut “Tungkot Di Na Landit” Sulu Di Na Golap” atau pun disebut juga: Sitamba Na Hurang, Si Horus Na Lobi”.Maksudnya anak boru-lah yang membawa obor dan menjadi tongkat, pada malam dan pada jalan yang licin.
  5. Pisang Rahut: Adalah pembantu untuk menyokong mora nimora, sehingga, baik material maupun moral siap untuk membantu, agar horja jangan sempat terhalang.

Demikianlah masyarakat adat disusun sedemikian rupadalam fungsi kekeluargaan dan kemasyarakatan, sehingga sesuatunya itu bisa terlaksana dengan baik dan sempurna. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Melestarikan Adat Dalihan Na Tolu

Melestarikan suatu adat budaya dapat mempergunakan berbagai langkah seperti pemberian contoh/keteladanan,demontrasi, pemberian tugas, umpan balik, dan tindak lanjut.Langkah-langkah tersebut dapat dipergunakan dalam melestarikan adat dalihan na tolu. Caranya tidak harus berurutantetapi dapat digunakan cara yang berubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Dengan langkah seperti memberi contoh maka adatyang semula hanya sebagai pengetahuan, dapat digiring menjadi sikap dan kemudian berubah wujud menjadi diamalkan dandipraktikkan atau didemonstrasikan dalam kehidupan nyata.Tayar mengatakan dengan metode demonstrasi, yakni memperlihatkan bagaimana untuk melakukan jalannya suatu proses akan semakin lancarlah jalannya suatu adat. Disebut juga to show artinya mempertunjukkan suatu hal. Dengan latihan pengetahuan dan kecakapan tertentu dapat menjadi miliknya danbetul-betul dikuasai. Metode latihan/pembiasaan juga banyak membantu pemahaman adat yang dilatih tentunya adalah hal-halyang bersifat praktis, operasional seumpama melatih markobar (berbicara adat) di tengah-tengah suatu acara baik adat siriaon ataupun siluluton.

Yang dimaksud dengan umpan balik ialah dengan mengadakan suatu acara adat terhadap seseorang yang kurangbegitu menjiwai adat, dengan harapan setelah ia mengikutinya maka dengan sendirinya ia menjadi pelaksana dan pendukung yang aktif. Secara gradual pengenalan adat akan dapat berjalan  terus-menerus. Sedangkan sebagai tindak lanjut ialah dengan menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan untuk acaraadat.’

Penilaiannya adalah apakah suku-suku pemangku adat Angkola sudah mewariskan adat budaya daerah disertai dengan contoh teladan terhadap masyarakat pendukungnya? Kelemahannya selama ini adalah kurangnya keteladanan dan latihan, umpan balik dalam adat batak. Namun kita berharap masih ada waktu untuk berbenah jangan sampai itu semua menjadi sia-sia karena berada pada ambang kepunahan karena kurangnya upaya kita dalam melestarikan Seni . Adat dan Budaya seperti cita-cita Undang-undang no.5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *